Ketahuilah, bahwa orang yang merugikan saudaranya dikatakan
telah menzhaliminya. Sedangkan berbuat zhalim adalah haram, sebagaimana telah
dijelaskan pada Hadits Abu Dzar :
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah
mengharamkan diriku berbuat zhalim dan menjadikannya haram juga diantara kamu,
maka janganlah kamu berbuat zhalim”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda :
“Sesungguhnya darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu adalah
haram bagi kamu”adapun sabda beliau : “Janganlah engkau saling membahayakan dan
saling merugikan” sebagian ulama mengatakan “Dua kata tersebut sebenarnya
semakna dan kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa penggunaan dua kata tersebut
berarti penegasan”.
Al Mahasini berkata : “Bahwa yang dimaksud dengan
merugikan adalah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, tetapi
menyebabkan orang lain mendapatkan mudharat”. Ini adalah pendapat yang
benar.
Sebagian ulama berkata : “Yang dimaksud dengan kamu membahayakan yaitu
engkau merugikan orang yang tidak merugikan kamu. Sedangkan yang dimaksud saling
merugikan yaitu engkau membalas orang yang merugikan kamu dengan hal yang tidak
setara dan tidak untuk membela kebenaran”.
Hadits ini sama dengan sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Tunaikanlah amanat kepada orang yang
memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu berkhianat kepada orang yang
berkhianat kepadamu”.
Menurut sebagian ulama, Hadits ini maksudnya adalah
janganlah kamu berkhianat kepada orang yang mengkhianati kamu setelah kamu
mendapat kemenangan atas pengkhianatannya. Seolah-olah larangan ini berlaku
terhadap orang yang memulai, sedangkan bagi orang yang melakukan pembalasan yang
setimpal dan menuntut haknya tidak dikatakan berkhianat. Yang dikatakan
berkhianat hanyalah orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya atau
mengambil lebih dari haknya.
Para ahli fiqih berselisih paham tentang
orang yang mengingkari hak orang lain, kemudian fihak yang diingkari mengambil
harta yang diamanatkan pengingkar kepadanya atau hal lain yang serupa. Sebagian
ahli fiqih berkata : “Orang semacam itu tidak berhak mengambil haknya dari orang
tersebut, karena zhahir sabda Nab Shallallahu 'alaihi wa Sallam “tunaikanlah
amanat dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu”. Yang
lain berpendapat: “Dia boleh mengambil haknya dan berhak mendapatkan pertolongan
dalam rangka mengambilnya dari orang yang menguasainya”. Mereka berdalil dengan
Hadits ‘Aisyah dalam kasus Hindun dengan suaminya, Abu Sufyan. Para ahli fiqih
dalam masalah ini mempunyai berbagai pendapat dan alasan yang tidak tepat untuk
dibicarakan di sini. Akan tetapi, pendapat yang benar ialah seseorang tidak
boleh membahayakan saudaranya baik hal itu merugikan atau tidak, namun dia
berhak untuk diberi pembelaan dan pelakunya diberi hukuman sesuai dengan
ketentuan hukum. Hal itu tidak dikatakan zhalim atau membahayakan selama sesuai
dengan ketentuan yang dibenarkan oleh Sunnah.
Syaikh Abu ‘Amr bin Shalah
berkata : “ Daraquthni menyebutkan sanad Hadits ini dari beberapa jalan yang
secara keseluruhan menjadikan hadits ini kuat dan hasan. Sejumlah besar ulama
menukil Hadits ini dan menjadikannya sebagai hujah. Dari Abu Dawud, ia berkata :
“Fiqih itu berkisar pada lima Hadits dan ia menyebut Hadits ini adalah salah
satu di antaranya”. Syaikh Abu ‘Amr berkata : “Hadits diriwayatkan Abu Dawud ini
termasuk dalam lima Hadits itu”. Ucapannya ini mengisyaratkan bahwa menurut
pendapatnya Hadits ini tidak dha’if.
|